ULAMA PERMATA NUSANTARA PEREKAT BANGSA | ARTIKEL | PKPT IPNU IPPNU IAIN PEKALONGAN

 

pkpt | ipnu | ippnu | iain | pekalongan | artikel | ulama | permata | nusantara | perekat | bangsa

Ulama’ Permata Nusantara Perekat Bangsa

Aswaja kata yang sangat familiar bagi kalangan umat Islam. Tersebar hampir di seluruh pelosok negeri. Menjadi madu yang diperebutkan semua umat karena sabda Rosulullah saw. yang mengatakan “Tiada golongan yang akan selamat kecuali satu yaitu Aswaja”. Aswaja singkatan dari Ahlussunah wal Jamaah yang artinya mengikuti sunnah – sunnah rosul dan sahabat secara berjamaah. Aswaja disetiap negara berbeda – beda pemahamannya sesuai dengan imamnya. Di dalam Aswaja terdapat dua imam  besar yaitu imam Asy’ariyah dan imam Maturidiyah.

Di Indonesia Aswaja atau yang lebih akrab dengan sebutan Nahdatul Ulama’ merangkul hampir seluruh penduduk Nusantara ini. Hal yang unik dari Aswaja di Indonesia yaitu penambahan kata al sunni di belakangnya untuk membedakan berbagai jenis Aswaja yang ada di belahan dunia. Aswaja di Indonesia didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926. Pemikiran Aswaja atau NU yang moderat menjadikan aswaja banyak pengikutnya. Selain itu, Aswaja di Indonesia lebih banyak mengacu pada imam Asy’ariyah meski tak menutup kemungkinan mengambil pemikiran imam Maturidiyah.

Dalam menghadapi berbagai persoalan para Kiai Nahdatul Ulama’ menyikapinya dengan berbagai dalil naqli maupun aqli mulai dari tingkatan al-Quran, hadits, ijma’, dan qiyas, mendiskusikan dengan ulama’ lain menimbang rata dampak yang akan muncul,  dan selalu mengikuti kebijakan pemerintah. Seperti contoh saat makam Rosulullah saw hendak dibongkar oleh raja Arab yang beraliran wahabi tidak ada ulama lain yang berani menyuarakan pendapatnya, mengangkat suara untuk kekasih Allah swt. hanya pendiri Nahdatul Ulama’ yaitu K.H. Hasyim Asyari yang berani angkat bicara. Beliau menentang pembokaran makam Rosulullah dengan mengirimkan surat kepada raja Arab tersebut. Berkat kearifan, kewibawaan, dan kemuliannya kita masih bisa berziarah, mengunjungi makam junjungan kita, kekasih Allah, dan idola semua umat muslim. Peran K.H. Hasyim Asyari juga patut diapresiasi karena beliau juga ikut andil dalam perumusan pancasila yang kita kenal sekarang. Perubahan yang ada pada Jakarta Charter atau piagam Jakarta pada sila pertama yang dahulu berbunyi “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk – pemeluknya” untuk mengubahnya beliau menjalani tirakat menjaga agar masyarakat Indonesia tetap bersatu tidak ada konflik tentang keagamaan. Akhirnya berubahlah sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tuhan bagi seluruh umat baik Islam, Hindhu, Budha, Katolik, Konghucu yang menepis pertikaian masyarakat Nusantara.

Nahdatul Ulama’ tidak mudah untuk membid’ah – bid’ahkan sesuatu yang baru yang tidak ada di zaman Rosulullah saw seperti adanya pembacaan berzanzi kaum wahabi menganggap itu adalah hal bid’ah karena tidak ada di zaman nabi. Sedangkan ulama NU sepakat pembacaan berzanzi merupakan penghormatan terhadap hari lahirnya Nabi Muhammad saw. Karena barang siapa yang senang akan kelahiran nabi maka diberikan ampunan. Bahkan, paman beliau yang bernama Abu Lahab yang bersikap kasar dan selalu menolak syiar Nabi Muhammad saw mendapat keringanan siksa kubur karena beliau bahagia saat kelahiran Nabi Muhammad saw. Begitu mulianya pembacaan berzanzi bagi umat yang mengetahuinya. Adapula tahlilan yang identic dengan bid’ah bagi umat Islam beraliran lain. Mereka menganggap bahwa tahlilan hanya memberatkan ahli waris, tidak dilakukan oleh nabi, para sahabat, dan empat imam mazhab, serta tidak pula diterangkan dalam al- Quran ataupun hadits. Namun, maksud pembacaan tahlilan bagi nahdliyin (sekelompok orang yang beraliran sunni) yaitu untuk menemani keluarga yang berduka, mendoakan mayit, memohonkan ampunan dan untuk mengingatkan kita pada kematian.

Nahdatul Ulama’ dikenal aliran yang tolerantif serta kompromi terhadap masyarakat lain buktinya pada muktamar NU yang dilaksanakan pada bulan Mei 2019 yang menjelaskan tentang penyebutan ‘kafir’ bagi masyarakat Indonesia yang non - Muslim. Menurut ketua PBNU K.H. Aqil Sirad “Perkataan soal kafir tidak perlu diperdebatkan apalagi terhadap saudara kita meskipun mereka berbeda agamanya. Istilah kafir sudah ada sejak zaman dahulu. Allah sudah menerangkan orang – orang yang kafir pada Qs. Al- Kafirun. Sedangkan untuk penggunaan kata kafir lebih baik digunakan saat pengajian untuk memberikan pencerahan, tambahan ilmu kepada para jamaah.”

Penafsiran yang salah terhadap Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang merupakan firqoh dari NU juga mendapat kecaman publik yaitu saat peistiwa pembakaran bendera tauhid mirip dengan lambang HTI yang bertuliskan لا اله الاّ الله     yang dibakar oleh banser saat hari santri. Dari prespektif lain tujuan pembakaran bendera itu karena bendera terletak di tanah. Secara rasional lafadz Allah yang terletak di tanah dapat dengan mudah terinjak oleh langkah kaki anak Adam yang penuh dosa, tercabiknya bendera tersebut sehingga terkesan kita menyepelekan kalimat yang mengandung makna agung. Namun, masyarakat lagi – lagi terkontaminasi dengan berita hoax sehingga mudah menjudges seseorang atau suatu lembaga tanpa mengoreksi kebenarannya.

Sebagai penerus bangsa dan kader NU sepatutnya kita berbangga diri dengan wadah agama kita yang sangat toleransi, tidak mudah membid’ah – bid’ahkan, selalu setia pada NKRI karena itu merupakan tujuan dari NU yaitu menjaga dan melindungi NKRI dari segala ancaman dan menghadapi segala tantangan. Hal yang paling penting adalah suatu negara tidak akan berdiri kokoh tanpa doa dari para Ulama dan sang Kiai karena usaha tidak akan berbuah tanpa iringan kalamullah.

[Ila Khayati Muflikhah]


1/Post a Comment/Comments

Post a Comment